Pages

Jumat, 20 Mei 2011

Ketika Esok Menanti

Bayangan itu muncul kembali. Jantungku berdetak kencang. Kejadian 5 tahun yang lalu tak bisa aku lupakan. Seorang gadis belia berumur 16 tahun jatuh cinta dengan laki-laki jauh di atas umurnya 10 tahun. Ia terlahir dalam keluarga yang penuh aturan islam. Ia tumbuh menjadi gadis yang ta’at dan pintar. Hingga pada suatu saat ia jatuh cinta dan terpengaruh oleh pergaulan bebas. Ia hampir melakukan perbuatan keji, yaitu zina. Ia pun sudah membuat temannya meninggal.

Air mataku tak bisa berhenti mengalir. Semakin deras, dan nafasku terengah-engah. Subhanallah… aku sangat malu terhadap diriku sendiri. Kesucian itu hampir terenggut. Dan aku membuat temanku meninggal. Aku sudah menoreh tinta hitam. Kehormatan orangtuaku pun hilang.

Sejak kejadian itu, masjid dan tempat-tempat mengaji yang di dirikan oleh Ayah semakin sepi. Orang-orang selalu menggunjingku dan keluargaku. Teman-temankupun pergi. Tak ada lagi tempat berbagi untukku. Hingga pada suatu saat, dengan penuh kasih sayang dan kelapangan hati Ibu untuk memaafkanku, aku bangkit dan membuka kehidupan baru.

“Nia… bangun nak…” suara lembut Ibu membangunkanku. Ternyata aku tertidur dalam tangisku. Dengan sigap aku sunggingkan senyum. Aku selalu berusaha agar tidak pernah menangis di hadapan Ibu.

“Maaf bu.. aku tertidur mengerjakan tugas kuliah” aku terpaksa berbohong. “Ayah memanggilmu, katanya mau membicarakan kegiatan santri” Ucap Ibu.

Malam ini aku dan Ayah bermusyawarah untuk kegiatan para santri usia SMP dan SMA. Sejak kecil aku membantu Ayah mengajar para santri. Tapi sejak aku mengenal seorang laki-laki itu, aku selalu membantah Ayah. Walau orang-orang sampai sekarang tetap menilai buruk terhadapku, aku akan berusaha memperbaiki diri ini.

“Ayah, untuk program dua bulan kedepan kita akan tetap berwisata bersama wali murid para santri?” Tanya aku pada Ayah. “Iya nak, Ayah harap kamu mau memimpin acara itu”. Pinta Ayah dengan sangat berharap kepadaku. Aku terdiam. Para wali murid sangat membenciku, mereka bahkan tidak mau berbicara padaku kecuali itu terpaksa.

“Nia.. Ayah tahu ini sangat berat untukmu, tapi Ayah harap kamu bisa mengatasinya. Kegiatan ini bertujuan untuk mengembalikan nama baik Majelis ini”. “Iya Ayah, aku akan berusaha”.

Setelah pembicaraan tadi dengan Ayah, aku terus memikirkannya. Tugasku pun belum terselesaikan. Bagaimana caranya para walimurid bersedia ikut dan mengizinkan para santri, sedangkan mereka sangat membenciku. “Nia.. apa yang kamu pikirkan?” tiba-tiba Ibu datang mengagetkanku. “Bu.. apa aku bisa membuat para walimurid menyetujui acara ini?”. “Jika kita berniat baik dan semata-mata ini hanya karena Allah, insyaallah Allah akan menolongmu”. “Buktikan pada mereka bahwa kamu berniat baik dan sekarang Nia sudah berubah”. “Iya bu.. insyaallah aku akan berusaha. Terimakasih bu”. Aku peluk Ibu dengan erat. Beliau selalu ada di sampingku walau aku sering menyakitinya. Maafkan aku bu..

***

Pagi ini begitu cerah, sengaja aku datang pagi untuk bertemu anak Ibu kantin di kampusku. Jika ada waktu kosong, aku selalu menyempatkan waktu untuk mengajar ngaji anak Ibu kantin. Ku telusuri jalan menuju kampus dengan menghafal murottal . “Nia.. tunggu aku!” teriak Zahra dibelakangku. “Kamu jalan cepat sekali, dari tadi aku panggil tidak menoleh”. “Maaf ya.. aku keasyikan menghafal murottal. Hehe”. Dengan wajah cemberut Zahra mengambil buku murottalnya dan lari meninggalkanku.

Zahra adalah sahabatku satu-satunya. Aku mengenalnya dua tahun yang lalu saat aku masih di tingkat dua. Saat itu aku sedang menangis di taman belakang kampus. Beberapa teman laki-laki ku mengejek dan menghinaku. Zahra datang menolong dan menghiburku. Ia berkata “Jangan selalu kamu tangisi hinaan mereka kepadamu. Hinaan mereka mungkin adalah sebuah rasa iri padamu, karena kamu bisa mendapatkan prestasi yang baik. Kuatkan hatimu, dan do’akan mereka agar sadar atas perbuatannya dan bisa menjadi lebih baik” nasihat Zahra akan selalu ku ingat. Sebelum mengenalku, kami memang sering berpapasan di perpustakaan, tapi aku tidak menyadarinya. Sejak saat itu Zahra dekat denganku dan akhirnya sampai sekarang menjadi sahabatku.

“Zahra… tunggu! Lucu deh kamu pura-pura ngambek” ledek aku. “Aku tidak bisa marah sama kamu” sahut Zahra dengan lembutnya. “Bagaimana kabar para santri sekarang? Sudah seminggu aku tidak membantumu mengajar” tanya Zahra. “Alhamdulillah para santri semakin rajin Za. Tapi jumlah para murid belum bertambah. Malah ada yang berhenti mengaji” jawab aku dengan sedih. “Kamu jangan pesimis, yakinlah Allah akan menolongmu”.

***

Sudah tiga jam aku menunggu dosen pembimbing sejak setelah aku mengajar tadi pagi. Dosenku tidak datang juga, padahal sore ini aku berjanji dengan Ayah untuk mengantarnya checkup ke rumah sakit. Ayah terkena vertigo yang cukup parah, bagian kepalanya sering sakit, terutama jika Ayah sedang ada masalah, hingga Ayah jatuh pingsan karena tidak bisa menahan rasa sakit. Dan akulah penyebab parahnya penyakit Ayah. Dulu, saat aku sedang pergi dengan seorang laki-laki di masa laluku, Ayah mencariku kemana-mana. Hingga menyebabkan Ayah jatuh pingsan dan kepalanya terbentur.

Setelah berjam-jam aku menunggu, Alhamdulillah dosen pembimbingku datang. Aku banyak berbincang dan berkonsultasi. Dan Alhamdulillah aku bisa secepatnya menyelesaikan skripsiku.

Dengan panik aku beranjak pulang. Tiba-tiba ada yang memanggilku, “Nia, sepertinya kamu sedang buru-buru. Ayo Ibu antar pulang. Kamu terlihat panik. Cepat masuk ke mobil”. “Terimakasih Ibu. Maaf saya telah merepotkan”. Dosen pembimbingku memang sangat tegas tetapi ia baik. Akupun banyak berkonsultasi dengannya, hingga masalah pribadipun.

***

Aku menunggu Ayah sedang di periksa oleh dokter. Aku lihat sekelilingku banyak sekali pasien yang mempunyai penyakit parah. Ada pula yang menangis kehilangan saudaranya yang meninggal. Aku sempat berpikir, bagaimana jadinya jika Ayah meninggalkanku. Astaghfirullah… dosa sekali aku berpikir seperti itu.

“Bagaimana hasilnya Ayah?” tanya aku. “Alhamdulillah kesehatan Ayah membaik. Ayo kita pulang”. “Alhamdulillah…”. Tak tahu mengapa, aku ingin sekali menggandeng tangan Ayah. Dan Ayahpun dengan tumbennya terus menggandengku dengan erat. Suasana ini sudah lama aku rindukan.

“Nia, insyaallah minggu depan akan ada tamu dari Surabaya. Dia dulu rekan kerja Ayah saat dinas, insyaallah ia akan di pindahkan bekerja di Jakarta dan akan membantu mengajar”. “Nia bersyukur sekali rekan Ayah mau membantu mengajar. Mudah-mudahan ia secepatnya ke sini ya Ayah”. Aku pandangi Ayah, sepertinya ada yang beliau sembunyikan dariku.

***

Ba’da maghrib masjid penuh dengan para santri yang mengaji. Satu persatu mereka berkumpul pada kelasnya masing-masing. Malam ini aku mengajar santri usia prasekolah. Aku bahagia sekali bersama para santri, aku bisa mengajar dan meningkatkan prestasi para santri serta mendidik mereka menjadi pribadi yang berakhlakul karimah. Inilah impianku.

“Kak Nia.. lihat itu ada Udztad baru” dengan ramai anak-anak menghampiriku. “Mana dik? Itu mungkin seseorang yang sedang bertamu” pikirku. Tak biasanya ada orang baru yang mengajar tanpa sepengetahuanku.

***

“Assalamu’alaikum…”. “Wa’alaikumsalam…” jawab keluargaku.

“Kebetulan kamu sudah pulang. Tamu kita dari Surabaya sudah datang” Ibu berkata dengan senangnya. Ternyata laki-laki itu yang mengajar ba’da maghrib tadi.

“Kenalkan Nia, ini rekan Ayah di Surabaya. Namanya Mas Ali”. “Insyaallah Mas Ali akan membantu mengurus para santri di sini” Ayah meperkenalkan aku dengannya. “Terimakasih Mas sudah berkenan membantu kami” ucapku.

***

Sejak perkenalan itu Mas Ali selalu membantu aku di Majelis Ta’lim. Ia mengajar para santri dan selalu mengantar Ayah checkup ke rumah sakit. Aku sangat bersyukur, kesehatan Ayah semakin membaik. Ayahpun memiliki rekan yang baik. Ia memajukan Majelis Ta’lim dan para santripun bertambah banyak.

“Mas Ali, insyaallah bulan depan Majelis Ta’lim di sini akan mengadakan acara wisata untuk para santri. Kami butuh bantuan Mas untuk mengurusnya acaranya” pintaku. “Insyaallah Mas akan bantu. Nia jangan sungkan-sungkan jika butuh bantuan Mas” ucap Mas Ali. “Terimakasih atas kebaikan Mas selama ini. Nia minta maaf terlalu banyak merepotkan dan mengganggu pekerjaan mas”. “Mas senang bisa mengajar di sini dan bersama anak-anak. Walau dengan ilmu yang sedikit, tapi kita bisa mengamalkannya” ucap Mas Ali dengan senyumnya.

Aku bersama Mas Ali dan pengurus santri yang lainnya mengadakan rapat dengan para wali murid. Hatiku tidak tenang, aku sangat takut para wali murid akan memarahiku. Kebencian mereka masih tersisa atas kesalahanku di masa lalu. Dan kegelisahanku membuat Mas Ali memperhatikanku “Ada apa Nia? Mengapa wajahmu pucat?” tanya Mas Ali. “Hanya sedikit lelah mas. Tapi Nia tidak apa-apa”. “Jika kamu sakit pulanglah. Biar Mas yang urus rapat ini”. “Jangan mas, ini tanggung jawab Nia” sahutku dengan ceria.

“Nia, apa kamu tidak punya malu untuk mengurus Majelis Ta’lim ini?!” teriak walimurid kepadaku. Ibu itu adalah orangtua temanku di SMA. “5 tahun yang lalu kamu sudah membuat anak saya meninggal! Karna dia selalu bermain dan pergi dengan kamu, anak saya kecelakaan! Harusnya kamu malu!”. Ucap Ibu itu dengan marah. “Saya minta maaf bu.. saya minta maaf” aku menangis dan ibu itupun menangis. Aku tidak bisa berkata apa-apa selain meminta maaf kepadanya.

“Nia… saya ingin sekali membenci kamu. Karena kamu anak saya meninggal.” “Tapi karena Ayah kamu begitu baik, saya tidak sampai hati terus menerus membencimu” ucap Ibu itu dengan tersedu-sedu. “Ibu.. mohon maafkan saya. Saya benar-benar menyesal, kejadian itu tanpa di sengaja”. “Mohon ampunlah kepada Allah nak. Kesalahanmu di masa lalu adalah pelajaran bagimu”. Ibu itu memelukku dan kami terus menerus menangis. “Terimakasih atas kebaikan ibu untuk memaafkan saya”.

***

2 bulan kemudian…

“Alhamdulillah skripsiku mendapat nilai A” ucapku kepada Zahra. “Alhamdulillah akupun mendapat A” sahut Zahra. “Ini semua adalah hasil dari ikhtiar dan tawakal kita dan atas izin Allah” ucap kami bebarengan. Dan kami tertawa bersama.

***

Rembulan bersinar penuh menampakkan cahayanya. Bintang-bintangpun seakan-akan berkelap kelip dengan indahnya. Aku sangat mensyukuri nikmat yang aku miliki sekarang.

“Langit malam ini sangat indah ya nak..” ucap ibu berada di sampingku. “Iya bu..”.

“Nia.. sudah saatnya kamu menikah. Apa kamu belum menaruh perasaan pada seorang pria saat ini?” tanya ibu dan membuatku kaget. “Ibu.. jujur, aku sangat malu dengan diriku ini. Apa aku masih pantas menikah bu? Pria mana yang mau menikahiku?” ucapku dengan tangis. “Nia.. setiap manusia mempunyai kesalahan dan masa lalu. Kamu sudah berusaha memperbaikinya dan berserah diri kepada Allah. Kamu seorang wanita yang baik..” Ibupun mengusap airmataku. “Ali seorang pria yang baik. Apa kamu tidak menyukainya?”. “Tapi bu.. Mas Ali terlalu baik untukku” tangisku semakin deras. “Ibu.. jika menurut Ibu dan Ayah ia baik untukku, insyaallah akan aku istikhorohkan. Aku akan pasrah kepada Allah dan membuat Ibu dan Ayah bahagia”.

***

Ya Allah.. labuhkanlah cinta ini hanya kepadamu. Satukanlah hamba dengan jodoh hamba dengan tujuan yang sama hanya untuk beribadah kepadamu. Dan jadikanlah jodoh hamba menjadi pemimpin yang baik dalam keluarga. Amiin…

Hari ini adalah pertemuan keluargaku dengan keluarga Mas Ali. Aku hanya bisa terdiam dan menundukan kepala. Tak berani aku melihat calaon suamiku, yaitu Mas Ali. Dan seminggu lagi aku akan sah menjadi istrinya.

“Barokallahulakum…”

“Barokallahulana…”

Adzan subuhpun segera tiba. Kami segera mengambil wudhu dan bergegas shalat berjama’ah di masjid. Kami menuju ke masjid dengan bergandeng tangan. Tangan kanan suamiku membawa dua buah Al-qur’an dan tangan kirinya menggandengku.

“Sayang…” panggil suamiku.

“Iya mas…” jawab aku.

“Di saat semua orang masih tertidur dengan pulasnya, kita sangat bersyukur bisa menunaikan ibadah walau pagi masih sangat gelap..”.

***

0 komentar:

Posting Komentar